Media massa saat ini begitu gencar
memberitakan serta menayangkan terjadinya kasus-kasus korupsi, serta terus
mengawal bagaimana penanganannya oleh para penegak hukum, dari pusat hingga ke
daerah.
Karenanya, kita menjadi semakin tahu,
ternyata kejahatan korupsi sekarang sudah sedemikian merebaknya sehingga mereka
yang terjerat tidak hanya dari kalangan eksekutif, tetapi juga legislatif,
bahkan ada pula dari mereka yang berposisi di wilayah yudikatif yang didalamnya
termasuk penegak hukum institusi yang seharusnya menjadi benteng andalan
dalam memberantas korupsi.
Dari pemberitaan juga kita tahu, bahwa
ada kelegaan ketika mereka yang didakwa sebagai koruptor itu, setelah
ditangani secara hukum, mendapatkan hukuman yang setimpal.
Sebaliknya, isu korupsi sebagai
kejahatan mungkin menjadi keprihatinan ketika kasusnya sendiri tidak banyak
yang diberantas secara nyata dan tuntas sehingga akhirnya hanya
menjadi berita yang menjemukan dan sangat menyakitkan rasa keadilan
masyarakat.
Belakangan ini, kasus di beberapa daerah
tentang penanganan dugaan korupsi yang melibatkan eksekutif dan
legislatif, kerap tampil menyita perhatian publik karena yang didakwa adalah
tokoh-tokoh yang populer di tengah masyarakat.
Tentu publik ingin tahu seberapa
jauh proses peradilan menanganinya. Dalam konteks otonomi daerah,
pemberantasan korupsi seharusnya secara kompetitif menjadi kegiatan dari
agenda aksi pengadilan di setiap daerah bersama pemerintah daerah yang didukung
oleh seluruh rakyat.
Tidak melulu bersikap menyalahkan
pemerintah yang oleh sebagian masyarakat dianggap sangat lemah di dalam
pemberantasan korupsi.
Artinya, dengan adanya otonomi daerah,
maka pemerintah daerah dan lembaga-lembaga hukum serta pengadilan di daerah
harus terpanggil untuk menjawab amanah undang-undang tersebut tanpa harus
menunggu komando dari pimpinan nasional.
Maksudnya, pemberantasan korupsi dalam
segala ukurannya di daerah harus digalakkan untuk menghindari tudingan
bahwa desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah hanyalah
resentralisasi kekuasaan atau pemusatan kembali kekuasaan di
daerah-daerah.
Dengan demikian, desentralisasi dapat
dipandang atau dituding juga sebagai desentralisasi kejahatan korupsi melalui
resentralisasi kekuasaan di daerah-daerah.
Seakan-akan otonomi daerah membuka peluang bagi terjadinya korupsi di
daerah secara otonom bersamaan dengan proses resentralisasi kekuasaan di
daerah.
Bagaimanapun, justru otonomi daerah
harus dijadikan kekuatan dan kehormatan daerah untuk dapat membangun
pemerintahan dan masyarakat yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
terutama bersih dari kejahatan korupsi.
Jika setiap daerah dipimpin oleh para
penyelenggara pemerintahan yang bersih dan yang memimpin, mengayomi,
melayani, serta mengabdi masyarakat yang bersih, maka secara desentralistik dan
sekaligus secara nasional kejahatan korupsi dapat diminimalisir, kalau
memang tidak yakin diberantas.
Namun, sebaliknya, jika korupsi semakin
merajalela dan tak bisa diberantas di daerah-daerah, maka secara nasional
kejahatan korupsi akan semakin menjadi wabah penghancur eksistensi
bangsa.
Itu yang tidak kita inginkan
dan karenanya semua pihak, termasuk media pun sekarang terus dalam posisi
mengontrol, mengawasi dan mengawal itu semua agar berjalan pada jalurnya.
Oleh :
Faisal Ahmad Fani - Universitas Airlangga
Oleh :
Faisal Ahmad Fani - Universitas Airlangga
No comments:
Post a Comment